BERDAMAI
Seandainya
kenangan ini hanya sekedar coretan dengan pensil tentu tak akan sulit aku
menghapusnya. Pada kenyataannya kenangan ini tak sekedar mencoret dinding
kosong dihati ini. Kenangan ini terukir seakan abadi. Sulit menghilangkannya.
Jikalau pun ku paksa melenyapkannya, akan ada luka yang tertinggal. Mengapa
kamu meninggalkan aku disaat sayang ini tumbuh mengakar bersama harapan. Kau
tepikan aku begitu saja. Menghilangkan aku dari waktu-waktumu.
Bisakah
kau berhenti dan berbalik sejenak. Lihatlah keadaanku sekarang. Menyedihkan.
Berharap pada harapan kosong. Berharap tanpa tahu kemana takdir mengarahkan
cerita kita. Bukannya aku ingin menunjukkan betapa menyedihkannya hidupku
tanpamu dan berharap kau kasihani aku. Namun seharusnya sebelum kau pergi
ciptakanlah sebuah penghapus yang bisa menghapus kenangan yang kamu ukir begitu
dalam ini. Sehingga tak hanya aku sendiri yang berusaha bertahan hidup dengan
bayang kenangan yang seolah bernyawa ini.
Kini
berat rasaku menanggungnya. Sekuat tenaga aku mencoba berdamai dengan kenangan
ini. Karena aku sadar tak ada yang berubah, semua telah terjadi. Semakin aku
berusaha membuangmu, semakin sia-sia usaha itu. Walau aku tau kata “damai” tak
semudah aku mengucapkannya. Aku mulai mencobanya. Perlahan aku melangkah
menjauh membentuk kenangan baru yang ku yakini akan membuat kenanganmu terbenam
hilang walau masih terukir rapi.
Pergilah
wahai kamu yang sedang mencari kebahagiaan baru dengan wanita baru yang kau
anggap lebih baik dariku. Semoga hal itu benar adanya tak hanya sekedar ucapmu
kepadaku yang dimatamu penuh dengan kekurangan ini. Selalu aku berusaha
berdamai dengan kenanganmu, agar saat bertemu silahturahmi kita tak putus.
Cukup hubungan kita yang putus. Tapi itu pun jika kau masih berkenan mengenalku
sebagai orang yang pernah mengisi harimu. Jika pun tidak, setidaknya dimata Tuhan bukan aku pemeran
antagonisnya. Tapi kamu yang memutuskan silahturahmi kita. Selamat berbahagia,
semoga pilihanmu adalah yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar